Sejarah pemikiran ekonomi
Sejarah Pemikiran Ekonomi Aliran
Institusional
Oleh:
Marnah
A.
Pendahuluan
Manusia
hidup sarat dengan persoalan, dan salah satu persoalan yang tidak
henti-hentinya dihadapi adalah persoalan ekonomi, ketika sebagian persoalan
ekonomi dapat diatasi maka akan muncul lagi persoalan yang lain. Ekonomi
merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan, karena pada dasarnya manusia
tidak bisa jauh dari kegiatan ekonomi seperti produksi dan konsumsi.
Banyaknya
persoalan ekonomi yang muncul, hendaknya mampu dipecahkan dan diselesaikan
melalui ilmu ekonomi itu sendiri. Tapi
pada kenyataannya walaupun ilmu ekonomi yang dikembangkan oleh para pakar
ekonomi telah makin maju dan canggih seiring dengan perubahan zaman bukan
berarti semua persoalan manusia berhasil diatasi. Dalam kenyataan kehidupan
sehari-hari kita masih melihat selalu ada masalah yang dihadapi, secara umum
masalah yang paling besar menyangkut persoalan ekonomi.
Melihat
banyaknya persoalan yang terjadi membuat para pakar ekonomi berpikir dengan
keras untuk mencari solusi atas permasalahan yang terjadi. Sehingga banyak
teori-teori bermunculan dari para
pemikir ekonomi, tapi sayangnya teori yang diterapkan juga belum mampu
menyelaikan masalah yang terjadi. Sehingga menyebabkan timbulnya kritikan
terhadap teori yang dikembangkan oleh pemikir sebelumnya.
Akan
tetapi, tidak banyak yang tahu bahwa kegagalan tersebut disebabkan oleh
hambatan dan rintangan Instistusional, hambatan itu berkisar pada sikap kaku
dalam perilaku pada golongan masyarakat konglomerat, organisasi serikat buruh
dan birokrasi pemerintah.
Berdasarkan
permasalahan di atas maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai pemikiran
ekonomi Institusional, di mana di dalamnya akan dibahas bagaimana perilaku
konsumen dan produsen dalam kegiatan ekonomi.
B.
Pembahasan
1. Corak Pemikiran Aliran Ekonomi
Institusional
Pada tahun
20-an di daratan Amerika Serikat muncul aliran pemikiran ekonomi lain yang
disebut aliran ekonomi “institusional”. Ekonomi kelembagaan atau ekonomi
institusional pada hakekatnya adalah cabang ilmu ekonomi yang menekankan pada
pentingnya aspek kelembagaan dalam menentukan bagaimana sistem ekonomi dan
sosial bekerja. [1]
Ada sedikit
persamaan antara aliran Institusional dengan aliran Sejarah, keduanya sama-sama
menolak metode Klasik. Akan tetapi, dasar falsafah dan kesimpulan-kesimpulan
politik kedua aliran tersebut berbeda. Aliran Institusional menolak ide
eksperimentasi sebagaimana yang dianut oleh aliran Sejarah. Begitu juga, pusat
perhatian aliran institusional terhadap masalah-masalah ekonomi dalam kehidupan
masyarakat berbeda.
Aspek
metodologi ekonomi yang dikandung dalam ekonomi Institusional sering dimasukkan
ke dalam ekonomi ortodoks. Ekonomi ortodoks maksudnya pemikiran-pemikiran
ekonomi yang menggunakan dan melanjutkan pandangan-pandangan ekonomi Klasik,
seperti persaingan bebas, persaingan sempurna, kepuasan konsumen.[2]
Orang yang paling berpengaruh dan
mempunyai peran dominan terhadap keberadaan aliran Instistusional adalah
Thorstein Bunde Veblen. Dia mengkritik teori
ekonomi Klasik dan Neo-klasik yang mengabaikan aspek-aspek non-ekonomi
seperti kelembagaan dan lingkungan. Padahal Veblen menilai pengaruh keadaan dan
lingkungan sangat besar terhadap tingkah laku ekonomi masyarakat. Struktur
politik dan sosial yang tidak mendukung dapat menimbulkan distorsi proses
ekonomi. Bagi Veblen mayarakat merupakan fenomena evolusi, segala sesuatunya
terus mengalami perubahan. Pola perilaku seseorang dalam masyarakat disesuaikan
dengan kondisi sosial sekarang. Jika perilaku tersebut cocok dan diterima, maka
perilaku akan diteruskan. Sebaliknya,
jika suatu perilaku dianggap tidak cocok maka perilaku akan disesuaikan
dengan lingkungan.[3]
Keadaan dan lingkungan inilah yang
disebut Veblen “institusi”. Dalam hal ini dijelaskan bahwa yang dimaksud Veblen
dengan institusi adalah hal-hal yang terkait dengan norma-norma, nilai-nilai,
kebiasaan, serta budaya. Selanjutnya semuanya direfleksikan kedalam kegiatan
ekonomi, baik dalam berproduksi maupun mengkonsumsi.
2. Biografi Thorstein Bunde Veblen (1857-1929)
Thorstein Bunde Veblen adalah anak keenam
dari imigran Norwegia generasi pertama, dia dibesarkan di daerah pertanian
Wisconsin yang hanya menggunakan bahasa Norwegia.[4]
Veblen
adalah anak dari seorang petani miskin yang melakukan imigrasi dari Norwegia ke
Amerika. Dalam keluarga petani miskin ini, termasuk di dalamnya Veblen, ada
sembilan orang bersaudara. Agaknya latar belakang kehidupan yang serba
kekurangan inilah yang menjadi pangkal tolak mengapa di dalam kehidupannya ia
sering bersikap getir, skeptis, dan bahkan ada yang menilainya sebagai seorang
fasis.[5]
Gelar yang diberikan kepada Veblen sangat banyak. Selain gelar-gelar di
atas ia juga sering digelari sebagai seorang maverick, yang kira-kira
bisa di artikan dengan orang yang suka “lain dari yang lain”. Gelar ini biasa
diberikan pada orang yang selalu berpijak pada pemikiran sendiri tanpa peduli
dengan pemikiran-pemikiran umum yang dianggap lumrah [ maverick = person who
dissent from the ideas of an organized group ].[6]
Sebagai seorang maverick yang
selalu ingin tampil beda, ia tidak pernah menghargai pendapat orang lain.
Selalu teguh pada pendapat sendiri, walau pendapat tersebut mungkin bertentangan
dengan pendapat yang dianggap “lumrah” atau “benar” waktu itu.[7]
Gelar lain yang diberikan pada Veblen adalah iconoclast, yaitu orang
yang suka menyerang dan ingin menjatuhkan ide-ide atau gagasan-gagasan
orang-orang atau institutradisional yang diterima secara umum [ iconoclast =
one who attacks and seeks to overthrow traditional or popular ideas or
institutions ]. Sebagai seorang iconoclast
ia tak pernah segan dan tak pernah ragu menentang pendapat para establishment.[8]
Gelar “radikal” juga cocok untuk Veblen, sebab ia sering atau bahkan terus
menerus mempermasalahkan inti kebenaran dari kata susunan masyarakat.
Sebagaimana akan dijelaskan nanti, salah satu hal yang sering dipermasalahkannya
ialah kebenaran tesis Neo-Klasik tentang konsep utilitas marjinal [marginal
utility ] dan asumsi tingkah laku konsumen rasional.[9]
Dengan gelar-gelar sebagaimana disebutkan di atas Veblen sering diperbandingkan
dengan Karl Mark, tokoh sosialis/marxis yang juga mempunyai kemampuan intelektual
yang luar biasa dan sama-sama sering melawan arus serta revolusioner. Bahkan
latar belakang pendidikan di antara keduanya mempunyai kemiripan, yaitu
sama-sama mempunyai latar belakang pendidikan yang luas di bidang sosiologi,
politik, falsafah, dan antropologi di samping ekonomi.[10]
Pendidikan awal yang di tempuh Veblen adalah bidang filsafat, yang di
ambilnya di Johns Hopskins University dan Yale University. Kemudian ia
memperdalam ekonomi di Cornel University. Walaupun ia seorang yang brilian, tetapi
anehnya jabatannya sebagai dosen tidak pernah lebih tinggi dari pembantu profesor,
baik waktu ia mengajar di Chicago, Stanford, maupun Missouri. Ada yang
menganggap hal itu karena ia tidak terlalu tertarik untuk mengajar, dan ada
pula yang menghubungkannya dengan pribadinya yang termasuk tipe orang yang
sulit bergaul.[11]
Bagaimana gambaran dari seorang Veblen yang mempunyai pribadi yang sulit
ini dapat kita lihat sebagai berikut: karena namanya sangat terkenal pada waktu
pendaftaran mahasiswa, mahasisiwa berbondong-bondong mengambil mata kuliah yang
diajarkanya. Tetapi yang ditemui mahasiswa adalah seorang eksentrik yang selalu
menggerutu. Pada hari pertama kuliah, ia menghabiskan seluruh papan tulis membuat
daftar bacaan yang harus dikuasai mahasiswa, dan akan diuji minggu depannya.
Tentu saja ini membuat mahasiswa ngeri. Sebagai akibatnya, ruang kuliahnya
makin lama makin sepi, dan pada akhir semester hanya tinggal beberapa mahasiswa
saja. Sebagai dosen killer ia tidak
pernah memberi nilai di atas C, yang membuat ruang kuliahnya makin dijauhi
mahasiswa.[12]
Dari buku-buku yang ditulisnya telah membuat Veblen telah menjadi sangat
terkenal. Karya tulisannya yang tajam, dengan analisis yang langsung menukik
pada persoalan, membuat dihargai oleh rekan-rekan seprofesi. Beberapa buku yang
ditulisnya seperti: the theory of lesure class[1899], the theory of business
enterprise [1904], the instinct of workmanship and the state of the industrial
art: [terbit tahun 1914, dan tahun 1920 dipublikasikan kembali dengan judul: the
vested interest and the common man ]; the enggineer and the price system
[1921]; absentee ownership and business enterprise in recent times the case of
America. Selain buku-buku yang disebutkan di atas masih banyak buku-buku
yang lain yang ditulisnya menyangkut masalah sosial, politik, bahkan juga tentang pertahanan keamanan, dunia
pendidikan, dan sebagainya.[13]
3. Pemikiran Thorstein Bunde Veblen
a.
Motivasi konsumen
Dalam The Theory of the Leisure Class,
Veblen menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan dorongan dan pola
perilaku konsumsi masyarakat. Sebagai seorang pemikir, Veblen merasa tidak puas dengan kondisi masyarakat yang ada di
sekitarnya, dia sering melihat situasi-situasi masa lalu yang dinilainya lebih
baik dari pada situasi-situasi dan keadaan sekarang, terutama dalam masyarakat
Amerika yang diamatinya. [14]
Menurut Veblen, dulu perilaku orang
terikat dengan masyarakat sekeliling, tingkah laku dari masyarakat itu
dapat memberikan pengaruh terhadap
perkembangan masyarakat. Kalau dulu orang berusaha untuk menghindari dan
tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan orang banyak, tapi
sekarang menurut Veblen dalam masyarakat kapitalis finansial di Amerika justru orang- orang hanya mementingkan diri
sendiri dan tidak perduli terhadap orang lain.[15]
Yang diperhatikan oleh masyarakat
sekarang adalah uang, segala sesuatu dinilai dengan uang. Sekarang orang tidak
peduli apakah perilaku ekonominya merugikan orang lain atau tidak, orang
berlomba-lomba untuk mencari dan memperebutkan harta tanpa peduli akan cara
yang dilakukannya apakah benar atau salah, yang penting apa yang mereka
inginkan tercapai. Mereka menganggap harta adalah segala-galanya dalam hidup.
Hal itu terjadi karena mereka berpandangan bahwa hanya harta yang mampu
menaikkan status dan harga diri
seseorang dalam masyarakat.
Ketika harta mereka telah banyak terkumpul, mereka memiliki
banyak waktu untuk bersenang-senang (leisure).
Dengan demikian, pada masa sekarang kemampuan untuk hidup bersenang-senang juga dijadikan sebagai alat untuk
memperlihatkan derajat atau status
seseorang di masyarakat. Sehingga bisa dikatakan semakin banyak waktunya untuk
bersenang-senang maka semakin tinggi derajatnya di masyarakat. [16]
Penyakit seperti ini banyak menghinggapi
kaum wanita. Sebagai contoh misalnya si A memakai gaun mode mutakhir dalam kesehariannya. Apa
yang dia lakukan hanya sekedar untuk memberitahukan kepada orang-orang bahwa
dia sudah tidak bekerja lagi melainkan sekarang dia menikmati apa yang telah
dia miliki.
Karena aktivitas bersenang-senang (leisure) dijadikan sebagai indikator
kesuksesan seseorang, maka keluarga kaya
yang ingin dianggap hebat, sebagai seorang suami dia tidak pernah mengizinkan
istri dan anak-anaknya mengerjakan
pekerjaan rumah, semua pekerjaan diserahkan kepada pembantu. Sementara
pembantu bekerja istri dan anak-anak sibuk mencari kesenangan masing-masing.
Penyakit suka pamer ini menurut Veblen
cepat berjangkit ke dalam masyarakat. Sebagai contoh, Misalnya Jesika baru pulang dari Singapura, dia
memamerkan barang-barang yang dibelinya dari Singapura tersebut, kerena
temannya yang bernama Ayu juga baru pulang dari Amerika , supaya tidak
kalah bersaing si Ayu ini juga memamerkan barang-barang yang telah dibelinya di
Amerika. [17]
Dengan harta berlimpah orang
berlomba-lomba membeli barang-barang yang digunakan untuk pamer. Kecenderungan
perilaku konsumsi seperti ini disebut Veblen dengan istilah conspcuous comsumption yaitu konsumsi
barang-barang dan jasa yang bersifat ostentatious ( pamer ). Hal itu dimaksudkan
untuk membuat orang kagum, yang menjadi konsumsi utama
bagi masyarakat leisure adalah
barang-barang mahal. Mereka tidak perduli apakah barang yang mereka beli itu
berguna atau tidak dalam kehidupan
sehari-hari, semakin mahal harga barang yang
dibeli maka mereka semakin yakin kalau barang tersebut indah dan hebat.[18]
Manfaat yang diperoleh dari
pengonsumsian barang-barang mahal tersebut memang tidak diperoleh dari barang
itu sendiri, tetapi mereka merasakan ada manfaat ketika barang yang mereka beli
itu mendapat perhatian dan pujian dari orang-orang sekitar, semakin kagum orang
pada apa yang dibelinya semakin tinggi tingkat kepuasan mereka. Tetapi jika
barang yang mereka beli tidak mendapat respon dan pujian dari orang sekitar maka mereka akan
kecewa dan merasa pusing tujuh keliling.
Apa yang dikatakan Veblen tentang
perilaku konsumsi bermewah-mewahan di atas adalah faidah atau manfaatnya tidak
diperoleh langsung dari barang yang ia konsumsi melainkan dari dampaknya terhadap orang lain. Bagi
Veblen, gambaran di atas sangat bertolak belakang dengan pandangan dari aliran kaum Klasik dan Neo-Klasik.[19]
Menurut Neo-Klasik orang akan selalu
memilih alternatif konsumsi terbaik
untuk memperoleh kepuasan sebesar-besarnya, kemudian pandangan dari Neo-klasik
ini juga bertentangan dengan pendapat
kaum Klasik yang mengatakan bahwa setiap keputusan konsumen didasarkan
pada rasio, bukan emosi.[20]
Menurut pandangan Veblen, orang yang
membeli suatu barang yang melebihi proporsi yang wajar, jelas tidak rasional.
Namun, lebih bersifat emosional. Dan yang lebih parah
lagi, kadang-kadang tingkah laku mereka seperti orang norak. Hal seperti ini
sering terjadi pada golongan nouve riche,
atau di Indonesia dikenal dengan istilah orang kaya baru (OKB). Golongan
ini umumnya berasal dari orang miskin yang kemudian berhasil meningkatkan
status finansialnya. Karena kurang terbiasa dengan pola hidup orang-orang kaya,
perilaku konsumsinya sepeti menjadi tidak wajar.
Veblen melihat bahwa perilaku conspicuous consumption semakin menggejala dalam masyarakat kapitalis
finansil liberal Amerika. Perilaku seperti ini sangat dibenci dan ditentang
oleh Veblen. Karena dari hasil pengamatannya ia menyaksikan bahwa orang Amerika
cenderung semakin manja. Banyak di antara mereka yang kerjanya hanya
menghambur-hamburkan waktu, tenaga, dan sumber daya. Jika kecenderungan seperti ini tidak dicegah,
menurut Veblen bangsa Amerika suatu saat akan tertinggal dari bangsa-bangsa
lain yang lebih perhitungan dalam membelanjakan pendapatan mereka.[21]
b. Perilaku
pengusaha
Dalam bukunya yang lain The Theory of Business Enterprise,
Veblen lebih jauh menjelaskan kemiripan
perilaku pengusaha Amerika dengan perilaku konsumsi yang diceritakan di
atas. Veblen dalam hal ini juga melihat bahwa perilaku para pengusaha Amerika
di masanya telah banyak mengalami perubahan. Dahulu para pengusaha pada umumnya
menghasilkan barang-barang dan jasa untuk memperoleh keuntungan dengan kerja
keras. Akan tetapi, pada masa sekarang laba atau keuntungan sebagian tidak lagi
diperoleh melalui kerja keras dengan menciptakan barang-barang yang disukai
konsumen, tetapi untuk mencari keuntungan mereka melakukannya melaui trik-trik
bisnis. Produksi seperti ini disebutnya production
for profit.[22]
Veblen melihat bahwa pada masa sekarang semakin banyak dijumpai jenis pengusaha
pemangsa (predator). Pengusaha ini
adalah para pengusaha yang memperoleh keuntungan melalui berbagai cara tanpa
mempedulikan nasib orang lain, termasuk para pegawai dan karyawan yang bekerja
di perusahaan yang dimilikinya. Apalagi
terhadap nasib para konsumen yang membeli produk-produknya, tidak ada perhatian
mereka sama sekali.[23]
Veblen melihat dalam masyarakat Amerika yang tumbuh begitu
pesat telah melahirkan suatu golongan yang disebutnya absentee ownership, yang dimaksudnya dengan golongan absentee
ownership adalah para pengusaha yang memiliki modal besar dan menguasai
sejumlah perusahaan, tetapi tidak ikut terjun langsung dalam kegiatan operasional perusahaan.
Kegiatan operasional perusahaan diserahkan kepada para professional dan karyawan kepercayaannya. Walaupun golongan ini
tidak ikut langsung dalam kegiatan operasional perusahaan, pada kenyataannya ia
malah memperoleh keuntungan paling besar.[24]
Sebagai contoh, misalnya tentang
pengusaha yang bergerak dalam bidang perkeretaapian. Ketika Amerika melakukan pembukaan
kawasan dari pantai Timur hingga pantai Barat, yang merancang dan melaksanakan
pembuatan jaringan kereta api adalah tenaga-tenaga professional yang diupah.
Sementara itu sang pengusaha sebagai
pemilik modal hanya “ongkang-ongkang kaki” saja. Mereka tidak mengarahkan pikiran dan energi
dalam kegiatan operasional, tetapi
memperoleh bagian keuntungan
paling besar.
Menurut Veblen para pengusaha yang hanya
mementingkan laba tanpa memperhatikan cara ini biasanya melakukan kongkalingkong dengan penguasa. Dengan
begitu, mereka mendapat berbagai kemudaahan dan hak-hak istimewa, misalnya dalam menguasai
bahan-bahan mentah dan menguasai daerah-daerah pemasaran. Ia juga biasanya mampu mengatur pejabat kehakiman untuk
tidak mempersoalkan kedudukan monopolinya atau agar tidak menggubris manipulasi
pajak dan keuangan yang dilakukannya.[25]
Di beberapa negara berkembang yang masih belum mempunyai aturan permainan
atau rule of law yang jelas, sering
dijumpai adanya kerja sama antara pengusaha dengan militer demi mengamankan
bisnis monopolinya. Artinya, kalau ada pengusaha lain yang ikut dalam bisnis
yang dimonopolinya, ia akan berurusan dengan militer. Pihak berwajib biasanya
diberi hadiah atau promosi naik pangkat.
Hal ini mudah diatur, sebab sang pengusaha biasanya dekat atau memang ada
hubungan keluarga dengan pihak berwajib tersebut.[26]
Dengan monopoly power yang ada di
tangan, mereka juga sering mengurangi
penawaran (supply) barang-barang,
sehingga harga dapat melambung tinggi, dengan begitu pengusaha dapat memperoleh
keuntungan yang lebih besar lagi. Dengan demikian, uang atau modal di tangan
pengusaha, pemangsa lebih sebagai alat
pengeksploitasi keuntungan
sebesar-besarnya daripada sebagai asset
yang dikelola dengan efisien untuk memuaskan kebutuhan konsumen sebagaimana
yang terjadi dalam perusahaan sungguhan.[27]
Untuk memperoleh laba yang
sebesar-besarnya ada pengusaha absentee ownership yang tidak segan-segan
mematikan usaha pengusaha sungguhan yang memperoleh keuntungan dengan kerja
keras. Salah satu cara untuk itu ialah dengan
melakukan akuisisi. Cara lain untuk mematikan pesaing lain adalah dengan
membanting harga, sehingga produk-produk dari perusahaan-perusahaan pesaing
tersebut tidak laku. Setelah pesaing mati dan keluar dari pasar, biasanya
mereka kembali menaikkan harga dan memperoleh laba sangat besar (excessive profit).[28]
Veblen menilai bahwa para pengusaha absentee
ownership yang bisa memperoleh keuntungan besar dengan cara kongkalingkong tersebut sangat
berpotensi melahirkan golongan leisure
class. Secara psikologis orang yang
bisa memperoleh sesuatu tanpa
kerja keras biasanya cenderung tidak menghargai sesuatu yang diperolehnya. Oleh
karena itu, tidak mengherankan kalau perilaku konsumsinya akan bersifat conspicuous consumption. Perilaku mereka
yang suka pamer tersebut kadangkala sangat norak, sebab suka membeli sesuatu
yang tidak dimanfaatkan dengan sewajarnya. Hal ini berbeda dengan
perilaku konsumsi pengusaha murni yang serius dan bekerja keras dalam berusaha.
Karena keberhasilan diperoleh melalui kerja keras mereka akan lebih perhitungan
dalam mengonsumsi barang-barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya.
Dari uraian di atas, tidak mengherankan
jika Veblen menolak keras teorinya kaum Klasik, teori yang ditentangnya
menganggap bahwa usaha setiap orang untuk mengejar kepentingan masing-masing
pada akhirnya akan melahirkan suatu harmoni dan keseimbangan dalam masyarakat secara keseluruhan. Hal itu
karena dari gejala-gejala yang diamatinya, ia melihat bahwa perilaku pengusaha
yang hanya mengejar kepentingan pribadi sangat bertolak belakang dengan tujuan
masyarakat secara keseluruhan. Sebaliknya, demi mengejar kepentingan pribadi
ada pengusaha yang tidak segan-segan menghambat dan mematikan kepentingan orang
banyak.[29]
C. Simpulan
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa dalam pemikiran ekonomi Institusional
Veblen mengatakan bahwa pola perilaku masyarakat mengalami perubahan baik itu
dalam berproduksi maupun mengkonsumsi, di mana dalam mengkonsumsi mereka
memprioritaskan kesenangan dan poya-poya dalam konsumsi sehingga menyebabkan
munculnya kelompok leisure class.
Kemudian
dalam berproduksi menurut Veblen pengusaha cenderung bersifat absentee ownership, di mana dalam
mengembangkan usahanya mereka hanya berdiam diri sedangkan yang menjalankan
usahanya tenaga professional yang digaji.
Pola
perilaku seperti di atas terjadi pada masyarakat Amerika, tetapi tidak menutup
kemungkinan pola perilaku seperti itu juga terjadi pada masyarakat Indonesia
sekarang ini. Dengan adanya teori dari Veblen itu, sehingga kita tahu bahwa
sebenarnya pola perilaku masyarakat juga perlu diatur baik itu dalam berproduksi
maupun dalam mengkonsumsi.
Sedangkan
menurut pendapat Imam asy-Syatibi maqashid
al syariah (kemaslahatan) akan
terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat terwujud dan
terpelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kemaslahatan mempunyai
relevansi yang begitu erat dengan konsep motivasi. Di mana konsep motivasi itu
lahir seiring dengan munculnya persoalan “mengapa” seseorang berperilaku.
Motivasi itu didefinisikan sebagai seluruh kondisi usaha keras yang timbul dari
dalam diri manusia yang digambarkan dengan keinginan, hasrat, dan dorongan.
Bila dikaitkan dengan konsep maqashid al-
syariah, jelas bahwa, dalam pandangan Islam motivasi dalam melakukan
aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhannya dalam arti memperoleh
kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.
Kebutuhan
yang belum terpenuhi merupakan kunci utama dalam suatu proses motivasi. Seorang
individu akan terdorong untuk berperilaku bila terdapat suatu kekurangan dalam
dirinya, baik secara psikis maupun psikologis. Motivasi itu sendiri meliputi
usaha, ketekunan dan tujuan. Apabila manusia termotivasi untuk selalu berkreasi
dan bekerja keras, maka hal itu akan mampu meningkatkan produktivitas kerja dan
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Jadi,
terdapat perbedaan pandangan antara Veblen dengan Imam asy- Syatibi mengenai
perilaku konsumen dan perilaku produsen. Kalau menurut Veblen tujuan hidup
manusia untuk kesenangan dan kesejahteraan dunia belaka, sedangkan menurut Imam
asy-Syatibi dalam Islam kita tidak hanya memikirkan kesejahteraan dunia semata,
tetapi kita juga memikirkan kesejahteraan untuk akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2010
Mark Skoeusen, Sang Maestro “Teori-Teori Ekonomi Modern”, Sejarah Pemikiran Ekonomi, Jakarta:
Pranada, 2006
Azwar Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada,2008
http://nanxsu.blog.com/2012/03/25/ekonomi-institusional/
[1]
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran
Ekonomi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010). h 141
[2]
http://nanxsu.blog.com/2012/03/25/ekonomi-institusional/
[3]Ibid.h 141-142
[4]
Skousen Mark, Sang Maestro “ Teori-Teori
Ekonomi Modern”, Sejarah Pemikiran Ekonomi, (Jakarta: Pranada, 2006), h 303
[6]
Delianov, Op. Cit., h. 143.
[7] Delianov, Op.
Cit., h. 143.
[8]
Delianov, Op. Cit., h. 143-144.
[9]
Deliarnov Op. cit., h. 144.
[10]
Delianov, Op. Cit., h. 144.
[11]
Delianov, Op. Cit., h. 144.
[13]
Delianov, Op. Cit., h. 145.
[14]
Deliarnov Op. cit.h . 145-146.
[15]
Delianov, Op. Cit., h. 145-146.
[16]
Deliarnov Op. cit. h. 146.
[17]
Deliarnov Op. cit. h. 147.
[18]
Delianov, Op. Cit., h. 147.
[19]
Delianov, Op. Cit., h. 147-148.
[20]
Deliarnov Op. cit. h. 148.
[21]
Deliarnov Op. cit. h. 148.
[23]
Delianov, Op. Cit., h. 149.
[24]
Delianov, Op. Cit., h. 149.
[25]
Deliarnov Op. cit.h. 150.
[26]
Deliarnov Op. cit. h. 150.
[27]
Delianov, Op. Cit., h. 151.
Akuisisi adalah pembelian
suatu perusahaan oleh perusahaan lain atau kelompok investor,
www.artikata.akuisisi.com
[28]Delianov,
Op. Cit., h. 150-151.
[29]
Delianov, Op. Cit., h. 151.
Untuk memahami ini dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yakni institusionalisme sosiologis, institusionalisme historis, dan institusionalisme politik. dalam pendekatan sosiologis, dalam pendekatan ini pada dasarnya merupakan pendekatan budaya. Teori ini berfokus pada penyebaran ide-ide dan bentuk budaya lain sebagai pencarian organisasi untuk sebuah legitimasi. Dalam pendekatan historis, menitikberatkan pada analisis sejarah yang diarahkan kepada institusi itu sendiri. Sedangkan pada pendekatan institusionalisme politik ini menunjukkan sebuah kekuasaan dengan jelas dan menekankan pada peran kausal dari politik sebagai lembaga politik atas hasil dan proses institusionalisme pilihan judi rasional
BalasHapus