HAK ASUH ANAK PASCA PERCERAIAN (HADHANAH)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Syara’
menginginkan perkawinan yang kekal antara suami dan istri, kecuali oleh suatu
sebab yang tidak dapat dipertahankan lagi, yakni karena itu pula syara’
mengikat perkawinan, tetapi tidak memermudah perceraian. Syara’ membenarkan dan
mengizinkan.
Pernikahan tidak
selalu berjalan mulus. Terkadang justru berakhir dengan perceraian. Perceraian
dipilih karena dianggap sebagai solusi dalam mengurai benang kusut perjalanan
bahtera rumah tangga. Sayangnya, perceraian tidak selalu membawa kelegaan.
Sebaliknya, seringkali perceraian justru menambah berkobarnya api perseteruan.
Layar kaca pun sering menayangkan perseteruan pada proses maupun paska
perceraian yang dilakukan oleh para publik figur Indonesia melalui
tayangan-tayangan infotainment. Salah satu pemicu perseteruan adalah masalah
hak asuh anak. Apabila pasangan suami istri bercerai, siapa yang berhak
mengasuh anak? Ayah ataukah Ibu ? Ayah
yang pada awalnya adalah kepala keluarga. Ia merasa berhak penuh atas hak asuh
anak. Di sisi lain, ibu pada awalnya adalah pengelola keluarga. Ia telah hamil,
melahirkan, menyusui, merawat, dan mendidik anak. Ia juga merasa berhak penuh
atas hak asuh anak. Bagaimana solusinya?
B.
Rumusan
Masalah
1.
Hakikat Perceraian
2.
Pengertian Hadhanah
3.
Dasar Hukum dan Syarat-Syarat
Hadhanah
4.
Macam-Macam Hadhanah
5.
Hak Asuh Anak Menurut Syariat Islam
6.
Hak Asuh Anak Yang Belum Mumayyiz
7.
Faktor Penyebab Hak Asuh Anak Jatuh
ke tangan Ayahnya
8.
Dasar Hukum dalam Menentukan
Hadhanah Anak yang Belum Mumayyiz kepada Ayah Akibat Perceraian Orag Tua
9.
Hikmah Hadhanah
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk Mengetahui Hakikat Perceraian
2.
Untuk Mengetahui Pengertian
Hadhanah
3.
Untuk Mengetahui Dasar Hukum dan Syarat-Syarat
Hadhanah
4.
Untuk Mengetahui Macam-Macam
Hadhanah
5.
Untuk Mengetahui Hak Asuh Anak
Menurut Syariat Islam
6.
Untuk Mengetahui Hak Asuh Anak Yang
Belum Mumayyiz
7.
Untuk Mengetahui Faktor Penyebab
Hak Asuh Anak Jatuh ke tangan Ayahnya
8.
Untuk Mengetahui Dasar Hukum dalam
Menentukan Hadhanah Anak yang Belum Mumayyiz kepada Ayah Akibat Perceraian Orag
Tua
9.
Untuk Mengetahui Hikmah Hadhanah
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Hakikat
Perceraian
Perceraian
adalah perpisahan atau putusnya hubungan suami-istri. Di antara keduanya
diharamkan atas aktifitas pemenuhan seksual, serta lepas dari hak dan kewajiban
sebagai suami dan istri.
Sebenarnya
perceraian adalah solusi terakhir. Ibarat pintu darurat, ia hanya dilalui jika
bahtera rumah tangga tidak mungkin diselamatkan. Oleh sebab itu, seharusnya
perceraian menjadi “api pemadam” bukan penambah kobaran perseteruan. Berarti
perlu kejelasan syariat, siapa yang memiliki hak asuh anak (hadhanah).
2.
Pengertian
Hadhanah
Hadhanah
menurut bahasa adalah Al-Janbu berarti erat atau dekat. Sedangkan menurut
istilah memelihara anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil dan belum
dapat mandiri, menjaga kepentingan anak, melindungi dari segala yang dapat
membahayakan dirinya, mendidik rohani dan jasmani serta akalnya supaya si anak
dapat berkembang dan dapat mengatasi persoalan hidup yang akan dihadapinya.[1]
Pengertian ini
selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh sayid sabiq bahwa hadhanah adalah
melakukan pemeliharaan anak yang masih kecil laki-laki atau perempuan atau yang
sudah besar belum mumayyiz tanpa kehendak dari siapapun, menjaga dari sesuatu
yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani dan rohani agar mampu berdiri
sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.[2]
3.
Dasar Hukum
dan Syarat-Syarat Hadhanah
Hubungan antara
orang tua dengan anak dalam hal ini adalah hubungan wajib tidak bias putus atau
terhalang keadaan sesuatu apapun baik karena perceraian maupun salah satunya
meninggal dunia, tidak menyebabkan putusnya kewajiban terhadap anaknya sesuai
dengan Q. S. Al-Baqarah ayat : 233
Artinya:”Para
ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu
menyempurnaka penyusuan dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian pada para
ibu dengan cara yang makruf.”
Ayat tersebut
dipahami bahwa seorang ayah berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri
dan anak-anaknya,[3] sedangkan dalam pemeliharaan anak yang
setelah bercerai antara suami dan istri, rupanya prioritas jatuh pada seorang
ibu yang paling berhak untuk mengasuhnya.
Hal ini
berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh At-tirmidzi:
Artinya:”Dari
ibnu Syuaib dari ayahnya dari kakeknya yakni Abdullah bin Umar dan sesungguhnya
seorang wanita berkata : Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak saya ini perutku
adalah kantongnya, pangkuanku adalah tempat duduknya, dan susuku adalah tempat
minumnya, maka setelah mendengar aduan itu, kemudian Nabi Muhammad SAW
bersabda:”Engkaulah yang lebih berhak menjaga anak itu selama engkau belum
kawin dengan yang lain.”
Hadis tersebut
menjadi dalil bahwa ibu lebih berhak dari pada ayahnya, bilamana ayahnya itu
hendak memisahkannya dari ibunya, sebenarnya kandungan di atas suatu peringatan
pada pengertian bahwa penetapan suatu hukum itu tetap dalam pengertian nurani yang sehat. Para sahabat Abu
Bakar dan Umar memutuskan perkara sama berdasarkan hadis itu, juga memberi
anggapan bahwa ibu gugur masa pemeliharaan dan asuhan anaknya ini juga sesuai
dengan mayoritas para ulama.
Sedangkan keputusan ketika anak sudah bias
memilih yang baik baginya, itu sesuai dengan hadis nabi yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah:
Artinya:”Dari
Abu Hurairah berkata: Sesungguhnya seorang perempuan berkata: Ya Rasulullah,
sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa anakku, padahal dia telah memberi
manfaat bagi saya, sudah dapat mengambil air minum untuk saya dari sumur Abu
Inabah.
Setelah
suaminya dating lalu nabi SAW bersabda kepada aak itu: wahai anak ini ibu dan
ini ayahmu, peganglah tangan yang mana di antara keduanya yang kamu sukai, lalu
anak itu memegang tangan ibunya dan wanita itu pergi bersama anaknya.”
Menurut ulama
Al-hadwaiyah dan ulama Hanafiyyah, tidak perlu disuruh memilih kata mereka: ibu
lebih utama terhadap anak itu hingga ia mampu memenuhi kebutuhannya sendiri
maka ayah lebih berhak atasnya. Pendapat ini sesuai dengan pendapatnya Imam
Malik.[4]
Setelah dasar
hukum itu terealisasikan tentu pengasuh menjadi faktor untuk kecakapan dan
kepatutan untuk memelihara anaknya maka harus ada syarat-syarat tertentu,
yaitu:
1) Berakal sehat,
karena orang gila tidak boleh menangani dan menyelenggarakan hadhanah.
2) Merdeka, sebab
seorang budak kekuasaannya kurang lebih terhadap anak dan kepentingan terhadap
anak lebih tercurahkan kepada tuannya
3) Beragama
Islam, karena masalah ini untuk kepentingan agama yang ia yakini atau masalah
perwalian yang mana Allah tidak mengizinkan terhadap orang kafir
4) Amanah
5) Belum menikah
dengan laki-laki lain bagi ibunya
6) Bermukim
bersama anaknya, bila salah satu di antara mereka pergi, maka ayah lebih berhak
karena untuk menjaga nasabnya.[5]
7) Dewasa, karena
anak kecil sekalipun mumayyiz tetapi ia butuh orang lain untuk mengurusi
dirinya.
8) Mampu
mendidik, jika penyakit berat atau perilaku tercela maka membahayakan jiwa anak
dan justru terlantarkan berada di tanganya.[6]
Mayoritas
ulama sepakat bahwa syarat-syarat hadhanah seperti berakal, amanah, dewasa,
mampu mendidik terhindar dari hal-hal yang tercela merupakan bagian dari
hadhanah. Sedangkah masalah agama bagi Imam Syafi’i, orang selain Islam tidak
boleh. Sedangkan bagi mazhab lain bukan merupakan syarat, hanya saja bagi Imam
Syafi’I kemurtadan menjadikan gugur hak asuhan. Seterusnya mazhab 4 berpendapat
bahwa, apabila ibu si anak dicerai suaminta, lalu dia kawn lagi dengan
laki-laki, maka hak asuhnya gugur, tetapi hak asuhnya bagi ibu tetap ada karena
merupakan bukti kasih saying kepada anaknya. Sedangkan Imam Syafi’i, Hanafi,
Imaiyyah dan Hambali: apabila ibu si anak bercerai lagi dengan suaminya yang
kedua, maka larangan hak asuhan si anak bias dicabut kembali. Dan hak itu
dikembalikan karena gugurnya perkawinan dengan laki-laki kedua itu. Adapun Imam
Maliki: hak tersebut tidak bias kembali dengan adanya perceraian itu.[7]
Syarat di atas
bukan bagian mutlak karena hal terbaik bagi anak merupakan faktor utama untuk
hadhanah seperti penyebutan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 109:
Pengadilan
agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan
memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut
pemabuk, penjudi, pemboros, gila, melalaikan atau menyalahgunakan hak dan
wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah
perwaliannya.[8]
4.
Macam-Macam
Hadhanah
Hadhanah
merupakan kebutuhan atau keharusan demi kemaslahatan anak itu sendiri, sehingga
meskipun kedua orang tua mereka memiliki ikatan atapun sudah bercerai anak
tetap dapat mendapatkan perhatian dari kedua anaknya.
a)
Hadhanah pada masa perkawinan
UU No. 1 tahun
1974 pasal 45, 46, 47 sebagai berikut:
Pasal 45:
1.
Kedua orang tua wajib mendidik dan
memelihara anak mereka sebaik-baiknya.
2.
Kewajiban orang tua yang dimaksud
dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri
berlaku terus meski perkawinan antara orang tua putus.
Pasal 46:
1.
Anak wajib mengormati orang tua dan
menaati kehendak mereka dengan baik.
2.
Jika anak telah dewasa, ia wajib
memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke
atas, bila mereka memerlukan bantuannya.
Pasal 47:
1.
Anak yang belum mencapai umur 18
tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang
tuanya, salaam mereka tidak dicabut kekuasaanya.
2.
Orang tua mewakili anak tersebut
mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Dalam hal ayat
1 pasal 47, menyebutkan bahwa kekuasaan salah satu atau kedua orang tuanya di
cabut dari orang tuanya atas permintaan orang tua lain, keluarga anak dalam
garis lurus ke atas dan saudara kanndung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang dengan keputusan pengadilan meskipun dicabut, mereka tetap
berkewajiban.[9]
Namun demikian
orang tua masih memiliki kewajiban atas biaya pemeliharaan anak tersebut (ayat
2) berkaitan dengan pemeliharaan anak juga, orang tua pun mempunyai tanggung
jawab yang berkaitan dengan kebendaan. Dalam pasal 106 KHI disebutkan bahwa
orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum
dewasa atau di bawah pengampuan dan orang tua bertanggung jawab atas kerugian
yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban.[10]
Ditambah
dengan KHI pasal 98 dan 99 tentang pemeliharaan anak:
Pasal 98:
1.
Batas usia anak yang mampu berdiri
sendiri atau dewasa 21 tahun, sepanjang tidak cacat fisik atau mental.
2.
Orang tua mewakili anaknya tersebut
mengenai segala perbuatan
3.
PA (Pengadilan Agama) dapat
menunjuk kerabat terdekat yang mampu bila orang tuanya tidak mampu.
Pasal 99:
Anak yang sah
adalah:
1.
Anak yang dilahirkan dalam atau
akibat perkawinan yang sah,
2.
Hasil dari perbuatan suami istri
yang sah di luar Rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
b)
Hadhanah Pada Masa Perceraian
Perceraian
bukanlah halangan bagi anak untuk memperoleh hak pengasuhan atas dirinya dan
kedua orang tuanya, sebagaimana yang telah diatur pada UU No. 1 pada tahun 1974
pasal 41 akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
1.
Baik ibu atau bapak tetap
berkewajiban memelihara, mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai pengasuhan anak –anak,
pengadilan memberi keputusan,
2.
Bapak yang bertanggugn jawab atas
semua biaya pendidikan dan pemeliharaan, bilamana bapak dalam kenyataannya
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul biaya tersebut.
3.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada
bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan menentukan suatu kewajiban
bagi bekas istri.[11]
5. Hak Asuh
Anak Menurut Syariat Islam
Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim telah
meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr : Bahwa seorang wanita berkata, “Ya Rasul
Allah, sesungguhnya anak saya ini, perut sayalah yang telah mengandungnya, dan
tetak sayalah yang telah menjadi minumannya dan haribaankulah yang
melindunginya. Tapi bapaknya telah menceraikan aku dan hendak menceraikan
anakku pula dari sisiku.” Maka bersabdalah Rasulullah saw. : “Engkaulah yang
lebih berhak akan anak itu, selagi belum kawin (dengan orang lain).”
Demikian
halnya saat Umar bin Khattab menceraikan Ummu Ashim dan bermaksud mengambil
Ashim bin Umar dari pengasuhan mantan istrinya. Keduanya pun mengadukan masalah
ini kepada Abu Bakar r.a. selaku amirul mukminin saat itu.
Abu Bakar
berkata : “Kandungan, pangkuan, dan asuhan Ummu Ashim lebih baik bagi Ashim
dari pada dirimu (Umar) hingga Ashim beranjak dewasa dan dapat menentukan
pilihan untuk dirinya sendiri.”
Ayah dan ibu
adalah orang tua anak-anaknya. Walaupun ayah dan ibu telah bercerai, anak tetap
berhak mendapat kasih dan sayang dari keduanya. Ayah tetap berkewajiban memberi
nafkah kepada anaknya. Anak berhak menjadi ahli waris karena merupakan bagian
dari nasab ayah dan ibunya. Anak gadis pun harus dinikahkan oleh ayahnya, bukan
oleh ayah tiri.
Bagaimana
nasib ibu yang telah menjanda? Ibu yang menjanda akibat diceraikan suaminya
maka ia berhak mendapat nafkah dari suami hingga masa iddahnya berakhir (tiga
kali haid) serta upah dalam pengasuhan anak baik dalam masa iddah maupun
setelahnya hingga anak mencapai fase tamyiz (berakal) dan melakukan takhyir
yang memungkinkan ia untuk memilih ikut ibu atau ayah
Jika anak
belum mencapai fase tamyiz (berakal), maka ibu tetap berkewajiban mengasuh
anaknya. Jika ibu tidak mampu mengasuh anaknya (misalnya karena : kafir/murtad,
tidak waras, dan sebab syar’i lainnya yang tidak memungkinkan dia mengasuh dan
mendidik anak), maka pengasuhan dapat dilakukan oleh ibunya ibu (nenek dari
anak) hingga garis keturunan seterusnya. Jika dari semua yang tergolong mulai
dari ibunya ibu hingga garis keturunan seterusnya tidak mampu mengasuh maka
menjadi kewajiban ayah untuk mengasuh atau mencari pengasuh yang mumpuni untuk
mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Pengasuh yang
dipilih bisa ibunya ayah (nenek anak) hingga garis keturunan seterusnya. Bisa
juga perempuan lain yang memang mumpuni dalam mengasuh anak. Adapun syarat
pengasuh anak adalah baligh dan berakal, mampu mendidik, terpercaya dan berbudi
luhur, Islam, dan tidak bersuami. (Fiqih Anak, 2004. Hj. Huzaemah Tahido
Yanggo).
Perceraian
memang pahit. Akan tetapi perceraian lebih baik dipilih daripada kehidupan
rumah tangga menjadi terpuruk sehingga bisa menyebabkan berbagai kemaksiatan.
Tugas ayah dan ibu berikutnya adalah menanamkan cinta dan kasih sayang kepada
anggota keluarganya agar anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut
tidak condong kepada sikap durhaka. Baik kepada ibu, ayah, maupun keduanya. Hal
ini karena ayah dan ibu adalah orang tua dari anak.
Dengan demikian, fenomena yang terjadi seperti
berebut hak asih anak, mengadu pada Komisi Perlindungan Anak maupun LSM-LSM
Peduli Anak, seharusnya tidak perlu terjadi. Hal itu justru bisa menimbulkan
stress pada anak. Apalagi sampai menghindarkan anak dari pertemuan dengan ayah
atau ibunya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila anak-anak menjadi
depresi dan membenci salah satu maupun kedua orang tuanya. Inilah saatnya untuk
memutus lingkaran setan dari kesalahan pemahaman mengenai hak asuh anak
(hadhanah) sesuai syariat Islam.
6.
Hak asuh anak
yang belum mumayyiz
Apabila
mengacu kepada ketentuan Pasal 105 Kompilasi Hukum
Islam yang
menyatakan dalam hal terjadinya perceraian:
a.
Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua
belas) tahun
adalah hak ibunya;
b.
Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih di
antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan;
c. Biaya
pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.[12]
Sedangkan
menurut fiqih 5 mazhab:
1.
Hanafi: 7 tahun untuk laki-laki dan
9 tahun untuk perempuan.
2.
Syfi’i: tidak ada batasan tetap
tinggal sama ibunya sampai ia bisa menentukan atau berpikir tentang hal yang
baik baginya. Namun bila ingin bersama ayah dan ibunya, maka dilakukan undian,
bila si anak diam berarti memilih ibunya.
3.
Maliki: anak laki-laki hingga
baligh dan perempuan hingga menikah.
4.
Hambali: Masa anak laki-laki dan
perempuan dan sesudah itu disuruh memilih ayah atau ibunya.
5.
Imamiyyah: Masa asuh anak untuk
laki-laki 2 tahun, sedangkan anak perempuan 7 tahun. Sesudah itu hak ayah
hingga mencapai 9 tahun bila dia perempuan dan 15 tahun bila dia laki-laki,
untuk kemudian disuruh memilih dia siapa yang ia pilih.[13]
Karena
tiadanya aturan yang jelas, maka pada umumnya secara baku
Hakim mempertimbangkan putusannya
berdasarkan fakta-fakta dan bukti
yang terungkap di persidangan
mengenai baik buruknya pola pengasuhan
orang tua kepada si anak termasuk
dalam hal ini perilaku dari orang tua
tersebut serta hal-hal terkait
kepentingan si anak baik secara psikologis, materi
maupun non materi. Dalam Pasal 229
Kompilasi Hukum Islam ditegaskan
bahwa “Hakim dalam menyelesaikan
perkara-perkara yang diajukan
kepadanya, wajib memperhatikan
dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga
putusannya sesuai dengan rasa
keadilan. Jadi Hakim harus
mempertimbangkan sungguh-sungguh apakah si
ibu layak mendapatkan hak untuk
mengasuh anak yang belum mumayyiz atau
belum berumur 12 (dua belas) tahun.
Jadi didasarkan pengertiannya, maka
konsep hak hadhanah dalam
Kompilasi Hukum Islam tidak jauh berbeda
dengan konsep perlindungan
sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuan
hukum yang berlaku umum yakni tetap
harus memperhatikan perilaku dari
orang tua tersebut (seperti si ibu
tidak bekerja sampai larut malam, lebih
mengutamakan kedekatan kepada si
anak dibandingkan kesibukkan diluar
rumah dan sebagainya) serta hal-hal
terkait kepentingan si anak baik secara
psikologis, materi maupun non
materi.
Jadi anak-anak
yang masih dibawah umur/belum mumayyiz yang
berhak
memegang hadhanah adalah ibunya atau Penggugat (A), namun
demikian
Majelis mempertimbangkan bahwa karena anak-anak tersebut telah
berada dalam
pemeliharaan ayah (Tergugat (B)) dan lagi pula anak-anak
nomor dua dan
tiga tersebut telah sekolah ditempat ayah (Tergugat (B)), maka
pemeliharaan
anak kedua dan ketiga tetap berada pada pihak Tergugat (B),
sedangkan anak
ke empat yang berusia ± 2 tahun untuk kelangsungan dan
tidak memutus
hubungan silahturrahmi dan hubungan emosional antara anakanak
dengan
saudaranya serta dengan orang tuanya yaitu Penggugat (A)
dengan
Tergugat (B) lagi pula Penggugat (A) saat ini belum mempunyai
tempat tinggal
yang tetap/pasti maka Majelis perlu menetapkan seorang anak yang ke empat
tersebut menjadi hak dan berada dalam pemeliharaan dan
asuhan ibu
(Penggugat (A).
7. Faktor
Penyebab Hak Asuh Anak Jatuh ke tangan Ayahnya
beberapa hal
inilah yang bisa membuat sang ibu tidak mendapat
hak
pemeliharaan (hadhanah) terhadap anak, yaitu:2
a. Tidak
beragama Islam/pindah dari agama Islam (murtad);
b. Berkelakuan
buruk, seperti pemabuk, penjudi, pecandu narkoba,
penganiayaan;
c. Mengalami
gangguan jiwa.
Hakim juga
mengatakan tidak hanya mempertimbangkan berhak atau
tidaknya
seorang ibu untuk mengasuh anak, Hakim juga mempertimbangkan
apakah ayah
dari anak itu mampu memelihara anak tersebut. Ayah dari anak
itu harus
sanggup dan bertanggung jawab atas pemeliharaan, pendidikan dan
biaya hidup
anak itu.3
Lebih lanjut
dalam wawancara dengan Hakim di Pengadilan Agama
Mataram Bapak
Ahmad Zaini mengatakan bahwa dalam kasus tertentu Hakim
berdasarkan
kepada hujat yaitu alasan hukum dari kitab-kitab klasik sehingga
memberikan hak
hadhanah anak yang belum mumayyiz kepada ayahnya
dengan alasan
bahwa ibunya akan berpindah tempat, kitab juga menjadi
rujukan kalau
Hakim berkeyakinan seperti itu, karena disamping berpegangan
pada hukum
materiil seperti Kompilasi Hukum Islam, Hakim juga
berpegangan
pada sumber hukum tidak tertulis (kitab-kitab) apabila Majelis
Hakim
memandang dalam kasus tertentu dilihat bahwa anak tersebut lebih
maslahat
diberikan hak hadhanah kepada ayahnya, Majelis Hakim bisa
menjatuhkan
putusan demikian dan berani mengambil keputusan apabila
ditemukan
alasan-alasan hukum kontemporer seperti tidak mempunyai
pekerjaan,
cacat moral (selingkuh, pemabuk dan berkelakuan cacat moral
lainnya), jadi
dalam menjatuhkan putusan tersebut Hakim mempunyai pertimbangan-pertimbangan,
yaitu ada pertimbangan-pertimbangan hukum
kontemporer
dan ada juga pertimbangan berdasarkan ketentuan-ketentuan
klasik (hukum
yang tidak tertulis).
8.
Dasar Hukum
Dalam Menentukan Hadhanah Anak Yang Belum
Mumayyiz Kepada Ayah
Akibat Perceraian Orang Tua
Dasar hukum dan pertimbangan Majelis Hakim dalam memutuskan
perkara hak
asuh anak yang belum mumayyiz sesuai dengan pendapat Imam
Taqiyudin Abi
Bakar bin Muhammad al Husaini ad Dimasyqi dalam Kitab
Kifayatun
Akhyar menyatakan bahwa perilaku tidak ifah (menjaga diri dan
kehormatan
suami) dapat menggugurkan hak hadhanah bagi ibu.
Adapun
syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang akan
melaksanakan
tugas hadhanah sesuai dengan dalil dalam Kitab Kifayatun
Akhyar II halaman 94
yang artinya:
“Syarat-syarat
bagi orang yang akan melaksanakan tugas hadhanah ada tujuh
macam, yaitu
berakal sehat, merdeka, beragama Islam, sederhana, amanah,
tinggal
didaerah tertentu dan tidak bersuami baru. Apabila kurang satu
diantara
syarat-syarat tersebut, gugur hak hadhanah dari tangan ibu”.
Apabila ibunya
tidak memenuhi syarat hadhanah, maka hak hadhanah
berpindah pada
ibunya ibu dalam hal sistem keluarga dalam arti luas
mencakup
kakek/nenek dan seterusnya. Namun karena ibunya ibu berada jauh
dari ibu dan
anaknya (di Tegal), maka hak hadhanah berpindah pada ayahnya
yaitu Tergugat
(B).
Bahwa hak hadhanah
hanya diberikan sampai anak menjadi mumayyiz atau
berumur 12
(dua belas) tahun, dan setelah itu menjadi haknya anak untuk
menentukan
pilihannya apakah ikut kepada ayahnya atau ibunya sepanjang
ibunya tidak
menikah lagi. Oleh karena kewajiban kedua orang tua dalam
memelihara
anak itu berlaku terus meskipun kedua orang tuanya cerai, maka
untuk
melindungi dan menjaga kesehatan dan jiwanya, kepada masing-masing
para pihak
diberi hak jenguk terhadap anaknya, sehingga hubungan darah dan
batin antara
anak dan orang tuanya tidak terputus.
9.
Hikmah
Hadhanah
Adapun hikmah
hak memelihara anak menurut Ali Ahmad Al-Jurjawi dilihat dari 2 segi:
1.
Tugas laki-laki dalam urusan
penghidupan dan masyarakat berbeda dengan tugas wanita, perhatian seorang ibu
terhadap anaknya lebih tepat dan cocok karena memelihara anak adalah
keistimewaan seorang ibu.
2.
Seorang ibu memiliki rasa kasih
sayang yang lebih besar terhadap anaknya dari pada seorang ayah. Dan curahan
hati tercurah lebih untuk anaknya.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Perceraian
seringkali berakhir menyahitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk di
dalamnya adalah anak-anak. Perceraian juga dapat menimbulkan stress dan trauma
untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis, pada umumnya orang tua bercerai
akan lebih siap menghadapi perceraian tersebut dibandingkan dengan anak-anak
mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka bercerai biasanya didahului proses
berpikir dan pertimbangan yang panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan baik
mental maupun fisik. Anak-anak yang orang tuanya bercerai dilanda
perasaan-perasaan kehilangan ( hilangnya satu anggota keluarga: ayah atau
ibunya). Perasaan gagal, kurang percaya diri, kecewa, marah dan benci yang amat
sangat. Walaupun anak telah belajar untuk menyesuaikan diri dan melanjutkan
kehidupan mereka setelah orang tuanya bercerai. Namun, perceraian orang tua
tetap menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan
Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2000)
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah Juz
8, ( Bandung, Al-Ma’ruf, 1984)
Al-Hamdani, H. S. A,Risalah
Nikah, (Jakarta Pustaka Amini, 2002)
Abu Bakar Muhammad, Terjemah
Subulussalam Juz III, (Surabaya, Al-Ikhlas, 1995)
Qasim, Ibnu, Tausyiah Ala Ibnu
Qasim, (Surabaya, Al-Hidayah, TT)
Kamal Pasha Mustafa, dkk, Fiqih
Islam, ( Yogyakarta, Citra Karsa Mandiri, 2002)
Jawad Mughniyah Muhammad, Fiqih
5 Mazhab, (Jakarta, Lentera, 2002)
Rahmat, Ghajaly Abdul, Fiqih
Munakahat, (Bogor Kencana, 2003)
http://www.e-psikologi.com/keluarga/180402a.htmMartina
Rini S. Tasmin, SPsi.Jakarta, 18 April2002 http://www.e
sikologi.com/keluarga/180402a.htmAhmad, Abu Daud, dan Al-hakim riwayatAbdullah
bin ‘Amr 1(www.keluargasamara.com)
Martina
Rini S. Tasmin, SPsi. Jakarta, 18 April2002 http://www.e
psikologi.com/keluarga/180402a.htm
[1]Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung,
Pustaka Setia, 2000), h.224
[2]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jus 8, (Bandung,
Al-Ma’ruf, 1984), h.179
[3] H. A. Al-Hamdani, Risalah Nikah (Jakarta,
Pustaka Amini, 2002), h.321-322
[4] Muhammad Abu Bakar, Terjemah Subulussalam
juz III (Surabaya, Al-Ikhlas, 1955), h.819-820
[5] Ibnu Qasim, Tausyih Ala Ibnu Qasim,(Surabaya,
Al-Hidayah, TT),h. 234-235
[6]
Musthafa Kamal Pasha, Chalil, Wahardjani, Fiqih
Islam, (Jogyakarta, Citra Karsa Mandiri, 2002), h. 304
[7] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih 5 Mazhab, (Jakarta,
Lentera, 2002), h. 416-417
[8] KHI, Pasal 109
[9]Rahmad Hakim, Hukum Perkawnan Islam, (Bandung,
pustaka Setia, 2000), h. 242-243
[10]
Abdul Rahmad Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor,
Kencana, 2003), h. 189-190
[12] Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor,
Kencana, 2003), h. 189
[13]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih 5 Mazhab, (Jakarta
Lentera, 2002), h. 417-418
permisi Bapak/Ibu mohon maaf saya mau bertanya anak saya kembar putri semua masih berumur 7bulan dan jika saya mengajukan sidang cerai dengan alasan istri tidak patuh terhadap suami dan lebih memilih tinggal bersama orang tuanya(tidak mau tinggal dengan suami karena disuruh orang tuanya) di desa tanpa ada fasilitas pendidikan dan kesehatan yg memadai/jauh dari lokasi tempat tinggal. kira” bagaimana keputusan hakim atas hak asuh anak kembar saya jika saya mengajukan sidang cerai??? sekian mohon pencerahaannya Bapak/Ibu yang terhormat dan terimakasih.
BalasHapusAsalamualaikum,wrwb...
BalasHapusAq ingin bertanya, apa hukum nya bila istri menggugat cerai suami.sedangkan suaminya sendiri telah bersumpah atas nama alloh dn rosullnya, klw suami tdk akan menceraikan istri...????
Bagai mana jika suami tidak datang dalam persidangan slma 3x panggilan dri pengadilan, suami tdk datang/hadir, apakah pengadilan bisa memutuskan cerai dlm hukum agama...
Demikian pertanyaan sy, mhn penjelasan dan nasehatnya. Trmksh...
Wasalamualaikum,wrwb'...
Suatu tulisan yang bagus. Sangat menambah pengetahuan saya tentang hadhanah. Semoga bermanfaat.
BalasHapusTerima kasih atas artikelnya. Sangat membantu tugas kami dalam menangani kasus hak asuh anak
BalasHapus